"Setiap kita adalah pejalan kaki. Masing-masing diberi jarak tempuh sendiri-sendiri. Tiada jalan untuk mundur, tiada tempat untuk istirahat sebelum kita mencapai ujung jalan. Kita telah diberikan peta perjalanan dalam Kitab Suci, terserah masing-masing kita untuk menggunakannya atau tidak."

Monday, May 28, 2007

Haruskah Ilmu dan Agama Dipertentangkan?

Sejak awal mulai bisa menggunakan pikiran rasionalnya, maka yang pertama kali muncul dalam pikiran seorang manusia adalah ketakjuban. Dari ketakjuban ini lalu muncul rasa ingin tahu, dan lahirlah pertanyaan-pertanyaan "Apakah ini? Mengapa bisa terjadi seperti ini?". Pada hakikatnya, sampai akhir hayatnya, pertanyaan-pertanyaan itu selalu ada dalam pikiran seorang manusia, karena manusia tidak pernah bisa memecahkan seluruh misteri kehidupannya.

Jawaban pertanyaan itu bisa didapatkan dari 2 jalur: melalui ilmu pengetahuan dengan segala teori dan hukum-hukumnya; dan dari agama. Ilmu pengetahuan memberikan jawaban berdasarkan hukum-hukum logika, sedangkan agama memberikan jawaban dengan landasan keyakinan. Ilmu pengetahuan dikembangkan berdasarkan dalil keraguan atas segala sesuatu baru kemudian dipilah mana yang salah dan benar berdasarkan hukum logika, Agama, sebaliknya, landasan awalnya adalah keyakinan, baru kemudian dibuktikan oleh ilmu pengetahuan; jika ternyata misalnya ilmu pengetahuan membuktikan bahwa ajaran dalam agama itu salah, maka yang dikedepankan adalah keyakinan terhadap ajaran agama dan menafikan ilmu pengetahuan.

Teori-teori yang berkembang dalam ilmu pengetahuan, pada kenyataannya, tidak selalu sejalan dengan ajaran agama. Pada titik inilah orang mulai mempertentangkan ilmu pengetahuan dengan agama, manakah yang harus dipilih: ilmu pengetahuan ataukah agama? Keputusan pada akhirnya ditentukan oleh seberapa yakin orang itu dengan ajaran agamanya. Seseorang yang tingkat keyakinannya terhadap agama tidak cukup tinggi maka ia akan semakin menjauh dari agamanya, dan bisa sampai pada titik tidak mau mempercayai ajaran agama lagi. Sebaliknya, jika ia sangat yakin dengan agamanya maka ia akan menafikan jawaban dari ilmu pengetahuan, seberapapun kuatnya dalil-dalil yang dikemukakan oleh ilmu pengetahuan tersebut.

Permasalahannya, banyak misteri yang belum bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan jawabannya terdapat dalam agama. Dengan demikian, seseorang yang menafikan agama, maka ia akan terombang-ambing dalam pencarian tanpa henti atas jawaban terhadap misteri tersebut, dan hanya akan berakhir jika ia kemudian mencarinya dalam agama, atau sampai ia menutup mata. Kisah Nabi Ibrahim adalah pelajaran yang sangat berharga bagaimana seseorang terombang-ambing dalam pencariannya, lalu kemudian menemukan jawabannya dalam agama Islam.

Sebaliknya, seseorang yang menafikan ilmu pengetahuan, maka ia bisa terperosok ke dalam keyakinan buta terhadap agama ('jumud'). Bagaimanapun manusia mempunyai rasio yang membutuhkan jawaban-jawaban rasional alih-alih jawaban yang bersifat dogmatis yang merupakan ciri khas ajaran agama.

Bagaimana Islam memandang hal ini? Islam sebagai agama tentu saja mensyaratkan adanya keyakinan yang kuat terhadap ajaran-ajarannya. Akan tetapi Islam sendiri juga tidak menafikan ilmu pengetahuan, dapat dilihat dari banyaknya ayat Al-Quran yang menjelaskan tentang pentingnya ilmu dan akal rasional.

Dalam pandangan Islam, agama tidak akan bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Agama diletakkan sebagai landasan terhadap segala hal, kemudian tugas ilmu pengetahuan adalah untuk membuktikan kebenaran agama itu. Pembuktian oleh ilmu pengetahuan ini akan memperkuat keyakinan seseorang terhadap agama yang dianutnya (tahap pertama keyakinan: 'Ilmul Yakin. Jika ada teori ilmu pengetahuan yang tidak sesuai dengan Islam, maka tugas para pemeluknya untuk membuktikan bahwa teori tersebut tidak benar. Seharusnya hal ini akan menjadi sebuah sumber motivasi yang sangat kuat bagi umat Islam untuk selalu mengembangan teori ilmu pengetahuan yang sejalan dengan Islam.


-----000-----